Minggu, 23 Juni 2013

Subjektivitas sejarah


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

       Didalam sejarah kita mengenal istilah objektivitas dan subjektivitas. Telah diketahui, bahwa sejarah dalam arti objektif, merupakan peristiwa yang hanya sekali terjadi. Setelah terjadi, maka peristiwa yang merupakan masa lampau itu akan menghilang untuk selama-lamanya, yang ada tinggalah kenangan.
       Sejarah dalam arti subjektif adalah suatu kontruksi (bangunan) yang disusun oleh penulis sebagai suatu uraian cerita (kisah). Kisah tersebut merupakan suatu kesatuan rangkaian dari fakta-fakta yang saling berkaitan.

B.     Rumusan Masalah
1.             Apakah pengertian subjektifitas?
2.             Apakah masalah subjektifitas itu?
3.             Mengapa terjadi subjektifitas?
4.             Bagaimana menghidari subjektifitas dalam sejarah?
5.             Bagaimanakah batasan subjektifitas itu?
6.             Bagaimanakah pertentangan antara subjektifitas dan objektivitas itu?
C.    Tujuan
  1. Mengetahui pengertian subjektifitas.
  2. Mengetahui masalah subjektifitas.
  3. Mengetahui sebab terjadinya subjektifitas.
  4. Mengetahui bagaimana cara menghindari subjektifitas.
  5. Mengetahui batasan-batasan subjektifitas.
  6. Mengetahui pertentangan antara subjektifitas dan objektivitas.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Subjektifitas
       Ada Terdapat suatu prasangka kasar terhadap pengetahuan “subyektif” sebagai suatu yang lebih rendah dari pada pengetahuan “objektif”, sebagian besar Karena kata “subjektif” telah memperoleh arti “khayalan” atau didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan pribadi makanya tidak benar atau berat sebelah. Pengetahuan dapat di peroleh dengan jalan melakukan peyelidikan yang tidak memihak. Memang sikap tidak memihak dan objektif mungkin sulit di peroleh dan kesimpulan yang berdasakan subjektif lebih mudah di bantah.

B.     Masalah subjektifitas
       Dalam kontek pengertian sejarah sebagai rekaman peristiwa yang sudah terjadi atau sejarah sebagai kisah, jelas memerlukan pihak-pihak yang peduli dengan sejarah dan terutama para sejarawan yang hidup dan berada dimasa kini untuk melakukan rekontruksi. Karena itu sejarah sebagai kisah adalah sejarah masa kini.[1]
Rekontruksi peristiwa masa lalu untuk menjadi kisah sejarah yang dapat dipertanggung jawabkan secara keilmuan, adalah sebuah pekerjaan yang sangat kompleks. Pasalnya, peristiwa yang telah terjadi itu hanya meninggalkan jejak-jejak atau peninggalan sejarah yang belum tentu lengkap, apa lagi kalau kejadian sudah begitu lama, yang sudah barang tentu memerlukan ingatan yang tajam bagi manusia-manusia sekarang. Secara fitrah manusia memiliki berbagai keterbatasan, termasuk keterbatasan ingatan untuk merekam dan mengenang peristiwa yang lalu, sementara jejak-jejak sejarah yang ada tidak mungkin lengkap. Problem keterbatasan objek kajian dan subjek pengkaji ini merupakan sebuah keterbatasan dalam suatu proses rekontruksi. Sekalipun dalam kondisi keterbatasan, sejarawan tentu ingin merekontruksi sejarah itu sebaik dan selengkap mungkin.
      Para sejarawan sudah tentu memiliki keinginan dan minat untuk menyelesaikan karya sejarah itu sebaik-baiknya. Disamping keinginan, dan minat, para sejarawan juga memiliki persepsi, pandangan, latar belakang sosial budaya, status, berbagai keterampilan termasuk gaya bahasa yang berbeda dengan sejarawan yang lain. Hal ini dapat membawa perpedaan dalam karya sejarah yang dihasilkan. Dengan demikian jelas ada unsur subjektifitas dalam sejarah. Yang penting bagi para sejarawan harus menyadari bahwa dengan kadar yang paling kecilpun unsur subjektif tidak dapat dihindarkan sehingga harus waspada agar tidak berat sebelah atau memihak demi kepentingan sendiri. Kalau ada keberpihakan, bukan lagi subjektifitas dalam sejarah, tapi akan cenderung pada bias sejarah. Itulah sebabnya kejujuran seorang sejarawan menjadi faktor penawar yang paling tepat untuk menghasilkan karya sejarah yang dapat dipertanggung jawabkan.

C.    Terjadinya Subjektifitas
Ada empat hal yang menyebabkan karya sejarah itu mengandung unsur subjektivitas[2]:
1.         Rasa senang dan tidak senang setiap individu atau prasangka pribadi.
Persoalan senang dan tidak senang ini terkait dengan interest, sikap berat sebelah atau prassangka pribadi dari seorang sejarawan terhadap individu atau tokoh atau golongan tertentu dalam masyarakat. Kalau seorang sejarawan itu menyenangi seorang tokoh, maka perhatiannya tertumpah untuk menguraikan peran dan ketokohan seorang yang disenangi itu sebaik dan selengkap mungkin. Tetapi sebaliknya, kalau tokoh itu dibenci mungkin dalam tulisan itu mencaci dan mengorek keburukan-keburukan tokoh yang ditulis tadi.
2.    Prasangka kelompok.
Hal ini tercermin pada sejarawan yang merupakan anggota kelompok suatu masyarakat. Secara sadar atau tidak sadar seorang memiliki anggapan-anggapan atau nilai-nilai yang kemudian akan menentukan sikapnya terhadap kelompok agaa, kelompok sosial, kelompok nasional. Contohnya sejarawan Indonesia sebagai anggota kelompok masyarakat nasional akan memiliki pandangan lain tentang perlawanan Pangeran Diponegoro bila dibandingkan dengan sejarawan Belandan yang merupakan  sejarawan kolonial. Begitu juga dengan sejarawan Islam kemungkinan memiliki pandangan yang berbeda tentang perang Salib bila dibandingkan dengan sejarawan Kristen.
3.    Penafsiran yang berlainan mengenai faktor-faktor sejarah.
Dalam kenyataanya, seseorang selalu ada tafsiran yang berbeda mengenai pengaruh yang paling bessar terhadap sesuatu peristiwa. Sebagai contoh pengaruh manakah yang paling dominan dalam menentukan kemenangan kita dalam perang kemerdekaan. Faktor politik atau faktor militer, prjuangan diplomasi atau perjuangan dengan senjata. Para politisi mungkin cenderung menunjuk faktor politik, tetapi bagi angkatan bersenjata, yang menentukan adalah kekuatan bersenjata (militer). Begitu juga sejarawan dapat berbeda dalam menyikapi hal tersebut
4.    Pandangan hidup atau weltanschauung yang berbeda-beda dari kelompok masyarakat.
     Weltanschaung adalah keyakinan moral atau ideologi yang memepngaruhi atau yang menjadi dasar atau prinsip hidup masyarakat. Pandangan hidup atau weltanschauungini berbeda antara kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lain. Pandangan hidup juga menjadi perspektif dalam memandang suatu masalah dalam suatu kehidupan. Hal ini juga mempengaruhi karya sejarahnya. Sebagai contoh masyarakat tradisional di waktu lampau yang masih diliputi suasana mitologis, menghasilkan karya-karya sejarah tradisional seperti babat tanah jawi, sejarah melayu. Begitu juga masyarakat yang prinsip hidupnya lebih religius, akan menghasilkan karya-karya sejarah yang bersifat religius. Sejarawan yang anti kolonial akan menghasilkan karya sejarah yang berbeda dengan para sejarawan belanda yang kolonial.[3]

D.    Menghindari subjektivitas
Untuk meminimalisasi timbulnya subjektivitas dalam penulisan sejarah, sejarawan haruslah mampu melakukan distansiasi (penjarakan) terhadap objek yang ditulisnya. Untuk dapat mendekati seoptimal mungkin objektivitas sejarah, ilmu sejarah memiliki metodologi yang di dalamnya memberi ruang bagi digunakannya konsep, teori, dan pendekatan dari ilmu-ilmu lainnya. Untuk itu, rekonstruksi sejarah bisa didekati dari sosial, politik, ekonomi, budaya, seni rupa dan desain, teknologi informasi, dan sebagainya. Pendekatan tersebut bisa bersifat monodisiplin atau multidisiplin. Selain peninggalan benda dan situs-situs sejarah, kadang-kadang faktor sejarah di peroleh dari kesaksian yang sering bermakna subjektif. Untuk dapat dipelajari secara objektif dalam arti tidak memihak dan bebas dari reaksi pribadi harus punya eksistensi yang merdeka di luar pikiran manusia. Akan tetapi, kenangan (memori) semata tidak mempunyai keberadaan di luar pikiran manusia, sedangkan banyak sejarah didasarkan kenangan yakni kesaksian tertulis atau lisan.[4]
       Dengan kata lain, pengayaan subjektivitas dilakukan demi semakin meminimalkan subjektivisme dalam mengonstruksi dan merekon-struksi karya historiografi. Pengayaan subjektivitas terutama oleh para penyusun historiografi teramat penting sebagai landasan untuk menghasilkan produk yang mendekati sisi objektivitas dari penulisan sejarah itu sendiri. Hal yang tak kalah pentingnya juga adalah karya historigorafi tak bisa diberangus. Ia hanya bisa dilengkapi, dikritisi, dan diperbaiki lewat produk historiografi lainnya.

E.     Pembatasan Subjektifitas
       Seorang sejarawan berusaha memberikan sumbangan orisional kepada studi sejarah, dan bertanggung jawab untuk menghindarkan sifat ketergantungan kepada pengarang-pengarang lain. Pembatasan subyek sangat diperlukan untuk mengadakan penelitian subyek antara lain dengan memperhatikan ketentuan di bawah ini:
a.      jangan memilih subyek yang bahan-bahannya tertulis dalam suatu bahasa yang tidak di kenali oleh peneliti.
b.     Jangan memilih bahan-bahan yang sukar di jangkau dari suatu tempat yang sukar di capai atau di duga telah hilang atau akan mahal memperolehnya.[5]

  1. Pertentangan antara subjektifitas dengan objektivitas
Perdebatan antara subjektifitas dan objektivitas masih berlangsung sampai kini. Masing-masing bertahan dengan argumennya. Namun argumen subjektivitas terlihat lebih kuat dan digemari daripada argumen objektivitas. Karena itulah beberapa sejarawan merasa gelisah. Karena jika subjektivisme itu benar, maka perbedaan antar sejarawan tidak berkisar pada sejarah itu sendiri, akan tetapi menjadi perbedaan yang bersifat etis dan politis yang tidak dapat dipecahkan. Maka muncullah ide untuk mengilmiahkan pengkajian sejarah. Namun jika demikian, bukankah sejarah menjadi sesuatu yang kaku, tidak mencerminkan unsur-unsurnya yang saling memengaruhi satu sama lain.[6]
























BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

       Pengetahuan “subyektif” sebagai suatu yang lebih rendah dari pada pengetahuan “objektif”, sebagian besar Karena kata “subjektif” telah memperoleh arti “khayalan” atau boleh di kata di dasarkan atas pertimbangan pribadi makanya tidak benar atau berat sebelah.
Terjadinya Subjektifitas ada empat macam yaitu :
a.       Rasa senang dan tidak senang setiap individu atau prasangka pribadi.
b.      penafsiran yang berlainan mengenai faktor-faktor sejarah.
c.       prasangka kelompok.
d.      pandangan hidup.
       Perdebatan antara subjektifitas dan objektivitas masih berlangsung sampai kini. Masing-masing bertahan dengan argumennya. Namun argumen subjektivitas terlihat lebih kuat dan digemari daripada argumen objektivitas















DAFTAR PUSTAKA


F.R., Ankersmit. 1987 Refleksi Tentang Sejarah; Pendapat-Pendapat Moderen tentang Filsafat Sejarah, Jakarta: Gramedia.
Gottschalk, Louis. 1975 under-standing Histoy A Primer Of Historical Method, terjemah Nugraha Notosusanto, Jakarta: UI Pers.
Hugiono. 1992Pengantar Ilmu Sejarah, Jakarta: PT. Rineka Cipta
Sardiman. 2004. Memahami Sejarah, Yogyakarta: BIGRAF Publishing.
Sudarminta. 2002. Epistemologi Dasar, Pengantar Filsafat Pengetahuan, Yogjakarta: Pustaka Setia



[1] Sardiman , Memahami Sejarah (Yogyakarta: BIGRAF Publishing, 2004), hal. 95.
[2] Ankersmit, F.R., Refleksi Tentang Sejarah; Pendapat-Pendapat Moderen tentang Filsafat Sejarah, (Jakarta: Gramedia, 1987), 316-328.
[3] Sardiman , Sejarah, hal:  100
[4] Louis Gottschalk, under-standing Histoy A Primer Of Historical Method, terjemah Nugraha Notosusanto (Jakarta: UI Pers, 1975), 45.
[5] Drs. Hugiono, Pengantar Ilmu Sejarah, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), hal. 34-35.
[6] Sudarminta, Epistemologi Dasar, Pengantar Filsafat Pengetahuan, (Yogjakarta: Pustaka Setia,2002), hal 43.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar