BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Didalam sejarah kita mengenal istilah objektivitas dan subjektivitas. Telah diketahui, bahwa sejarah
dalam arti objektif, merupakan peristiwa yang hanya sekali terjadi. Setelah
terjadi, maka peristiwa yang merupakan masa lampau itu akan menghilang untuk
selama-lamanya, yang ada tinggalah kenangan.
Sejarah
dalam arti subjektif adalah suatu kontruksi (bangunan) yang disusun oleh
penulis sebagai suatu uraian cerita (kisah). Kisah tersebut merupakan suatu
kesatuan rangkaian dari fakta-fakta yang saling berkaitan.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apakah pengertian
subjektifitas?
2.
Apakah masalah
subjektifitas
itu?
3.
Mengapa terjadi subjektifitas?
4.
Bagaimana menghidari subjektifitas dalam sejarah?
5.
Bagaimanakah batasan subjektifitas itu?
6.
Bagaimanakah pertentangan antara subjektifitas dan objektivitas itu?
C. Tujuan
- Mengetahui pengertian subjektifitas.
- Mengetahui masalah subjektifitas.
- Mengetahui sebab terjadinya subjektifitas.
- Mengetahui bagaimana cara menghindari subjektifitas.
- Mengetahui batasan-batasan subjektifitas.
- Mengetahui pertentangan antara subjektifitas dan objektivitas.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Subjektifitas
Ada Terdapat suatu prasangka kasar
terhadap pengetahuan “subyektif” sebagai suatu yang lebih rendah dari pada
pengetahuan “objektif”, sebagian besar Karena kata “subjektif” telah memperoleh
arti “khayalan” atau didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan pribadi
makanya tidak benar atau berat sebelah. Pengetahuan dapat di peroleh dengan
jalan melakukan peyelidikan yang tidak memihak. Memang sikap tidak memihak dan
objektif mungkin sulit di peroleh dan kesimpulan yang berdasakan subjektif
lebih mudah di bantah.
B.
Masalah subjektifitas
Dalam kontek pengertian sejarah sebagai
rekaman peristiwa yang sudah terjadi atau sejarah sebagai kisah, jelas
memerlukan pihak-pihak yang peduli dengan sejarah dan terutama para sejarawan
yang hidup dan berada dimasa kini untuk melakukan rekontruksi. Karena itu
sejarah sebagai kisah adalah sejarah masa kini.[1]
Rekontruksi peristiwa masa lalu untuk menjadi kisah sejarah yang dapat
dipertanggung jawabkan secara keilmuan, adalah sebuah pekerjaan yang sangat
kompleks. Pasalnya, peristiwa yang telah terjadi itu hanya meninggalkan
jejak-jejak atau peninggalan sejarah yang belum tentu lengkap, apa lagi kalau
kejadian sudah begitu lama, yang sudah barang tentu memerlukan ingatan yang
tajam bagi manusia-manusia sekarang. Secara fitrah manusia memiliki berbagai
keterbatasan, termasuk keterbatasan ingatan untuk merekam dan mengenang
peristiwa yang lalu, sementara jejak-jejak sejarah yang ada tidak mungkin
lengkap. Problem keterbatasan objek kajian dan subjek pengkaji ini merupakan
sebuah keterbatasan dalam suatu proses rekontruksi. Sekalipun dalam kondisi
keterbatasan, sejarawan tentu ingin merekontruksi sejarah itu sebaik dan
selengkap mungkin.
Para sejarawan
sudah tentu memiliki keinginan dan minat untuk menyelesaikan karya sejarah itu
sebaik-baiknya. Disamping keinginan, dan minat, para sejarawan juga memiliki
persepsi, pandangan, latar belakang sosial budaya, status, berbagai
keterampilan termasuk gaya bahasa yang berbeda dengan sejarawan yang lain. Hal
ini dapat membawa perpedaan dalam karya sejarah yang dihasilkan. Dengan
demikian jelas ada unsur subjektifitas dalam sejarah. Yang penting bagi para
sejarawan harus menyadari bahwa dengan kadar yang paling kecilpun unsur
subjektif tidak dapat dihindarkan sehingga harus waspada agar tidak berat
sebelah atau memihak demi kepentingan sendiri. Kalau ada keberpihakan, bukan
lagi subjektifitas dalam sejarah, tapi akan cenderung pada bias sejarah. Itulah
sebabnya kejujuran seorang sejarawan menjadi faktor penawar yang paling tepat
untuk menghasilkan karya sejarah yang dapat dipertanggung jawabkan.
C. Terjadinya
Subjektifitas
Ada empat hal
yang menyebabkan karya sejarah itu mengandung unsur subjektivitas[2]:
1.
Rasa senang dan tidak senang setiap individu atau
prasangka pribadi.
Persoalan senang dan tidak senang ini terkait dengan interest, sikap
berat sebelah atau prassangka pribadi dari seorang sejarawan terhadap individu
atau tokoh atau golongan tertentu dalam masyarakat. Kalau seorang sejarawan itu
menyenangi seorang tokoh, maka perhatiannya tertumpah untuk menguraikan peran
dan ketokohan seorang yang disenangi itu sebaik dan selengkap mungkin. Tetapi sebaliknya,
kalau tokoh itu dibenci mungkin dalam tulisan itu mencaci dan mengorek
keburukan-keburukan tokoh yang ditulis tadi.
2. Prasangka
kelompok.
Hal ini tercermin pada sejarawan yang merupakan anggota kelompok suatu
masyarakat. Secara sadar atau tidak sadar seorang memiliki anggapan-anggapan
atau nilai-nilai yang kemudian akan menentukan sikapnya terhadap kelompok agaa,
kelompok sosial, kelompok nasional. Contohnya sejarawan Indonesia sebagai
anggota kelompok masyarakat nasional akan memiliki pandangan lain tentang
perlawanan Pangeran Diponegoro bila dibandingkan dengan sejarawan Belandan yang
merupakan sejarawan kolonial. Begitu juga dengan sejarawan Islam
kemungkinan memiliki pandangan yang berbeda tentang perang Salib bila
dibandingkan dengan sejarawan Kristen.
3. Penafsiran yang
berlainan mengenai faktor-faktor sejarah.
Dalam kenyataanya, seseorang selalu ada tafsiran yang berbeda mengenai
pengaruh yang paling bessar terhadap sesuatu peristiwa. Sebagai contoh pengaruh
manakah yang paling dominan dalam menentukan kemenangan kita dalam perang
kemerdekaan. Faktor politik atau faktor militer, prjuangan diplomasi atau
perjuangan dengan senjata. Para politisi mungkin cenderung menunjuk faktor
politik, tetapi bagi angkatan bersenjata, yang menentukan adalah kekuatan
bersenjata (militer). Begitu juga sejarawan dapat berbeda dalam menyikapi hal
tersebut
4. Pandangan hidup
atau weltanschauung yang berbeda-beda dari kelompok masyarakat.
Weltanschaung
adalah keyakinan moral atau ideologi yang memepngaruhi atau yang menjadi dasar
atau prinsip hidup masyarakat. Pandangan hidup atau weltanschauungini berbeda
antara kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lain.
Pandangan hidup juga menjadi perspektif dalam memandang suatu masalah dalam
suatu kehidupan. Hal ini juga mempengaruhi karya sejarahnya. Sebagai contoh
masyarakat tradisional di waktu lampau yang masih diliputi suasana mitologis,
menghasilkan karya-karya sejarah tradisional seperti babat tanah jawi, sejarah
melayu. Begitu juga masyarakat yang prinsip hidupnya lebih religius, akan
menghasilkan karya-karya sejarah yang bersifat religius. Sejarawan yang anti
kolonial akan menghasilkan karya sejarah yang berbeda dengan para sejarawan
belanda yang kolonial.[3]
D. Menghindari
subjektivitas
Untuk meminimalisasi
timbulnya subjektivitas dalam penulisan sejarah, sejarawan haruslah mampu
melakukan distansiasi (penjarakan) terhadap objek yang ditulisnya. Untuk dapat
mendekati seoptimal mungkin objektivitas sejarah, ilmu sejarah memiliki
metodologi yang di dalamnya memberi ruang bagi digunakannya konsep, teori, dan
pendekatan dari ilmu-ilmu lainnya. Untuk itu, rekonstruksi sejarah bisa
didekati dari sosial, politik, ekonomi, budaya, seni rupa dan desain, teknologi
informasi, dan sebagainya. Pendekatan tersebut bisa bersifat monodisiplin atau
multidisiplin. Selain peninggalan benda dan situs-situs sejarah, kadang-kadang
faktor sejarah di peroleh dari kesaksian yang sering bermakna subjektif. Untuk
dapat dipelajari secara objektif dalam arti tidak memihak dan bebas dari reaksi
pribadi harus punya eksistensi yang merdeka di luar pikiran manusia. Akan
tetapi, kenangan (memori) semata tidak mempunyai keberadaan di luar pikiran
manusia, sedangkan banyak sejarah didasarkan kenangan yakni kesaksian tertulis
atau lisan.[4]
Dengan
kata lain, pengayaan subjektivitas dilakukan demi semakin meminimalkan
subjektivisme dalam mengonstruksi dan merekon-struksi karya historiografi.
Pengayaan subjektivitas terutama oleh para penyusun historiografi teramat
penting sebagai landasan untuk menghasilkan produk yang mendekati sisi
objektivitas dari penulisan sejarah itu sendiri. Hal yang tak kalah pentingnya
juga adalah karya historigorafi tak bisa diberangus. Ia hanya bisa dilengkapi,
dikritisi, dan diperbaiki lewat produk historiografi lainnya.
E. Pembatasan
Subjektifitas
Seorang sejarawan berusaha memberikan sumbangan
orisional kepada studi sejarah, dan bertanggung jawab untuk menghindarkan sifat
ketergantungan kepada pengarang-pengarang lain. Pembatasan subyek sangat
diperlukan untuk mengadakan penelitian subyek antara lain dengan memperhatikan
ketentuan di bawah ini:
a. jangan memilih
subyek yang bahan-bahannya tertulis dalam suatu bahasa yang tidak di kenali
oleh peneliti.
b. Jangan memilih
bahan-bahan yang sukar di jangkau dari suatu tempat yang sukar di capai atau di
duga telah hilang atau akan mahal memperolehnya.[5]
- Pertentangan antara subjektifitas dengan objektivitas
Perdebatan antara subjektifitas dan objektivitas masih
berlangsung sampai kini. Masing-masing bertahan dengan argumennya. Namun
argumen subjektivitas terlihat lebih kuat dan digemari daripada argumen
objektivitas. Karena itulah beberapa sejarawan merasa gelisah. Karena jika
subjektivisme itu benar, maka perbedaan antar sejarawan tidak berkisar pada
sejarah itu sendiri, akan tetapi menjadi perbedaan yang bersifat etis dan
politis yang tidak dapat dipecahkan. Maka muncullah ide untuk mengilmiahkan
pengkajian sejarah. Namun jika demikian, bukankah sejarah menjadi sesuatu yang
kaku, tidak mencerminkan unsur-unsurnya yang saling memengaruhi satu sama lain.[6]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengetahuan “subyektif” sebagai suatu
yang lebih rendah dari pada pengetahuan “objektif”, sebagian besar Karena kata
“subjektif” telah memperoleh arti “khayalan” atau boleh di kata di dasarkan
atas pertimbangan pribadi makanya tidak benar atau berat sebelah.
Terjadinya Subjektifitas ada empat macam yaitu :
a.
Rasa senang dan
tidak senang setiap individu atau prasangka pribadi.
b.
penafsiran yang
berlainan mengenai faktor-faktor sejarah.
c.
prasangka
kelompok.
d.
pandangan
hidup.
Perdebatan
antara subjektifitas dan objektivitas masih berlangsung sampai kini. Masing-masing bertahan dengan
argumennya. Namun argumen subjektivitas terlihat lebih kuat dan digemari
daripada argumen objektivitas
DAFTAR PUSTAKA
F.R., Ankersmit. 1987 Refleksi
Tentang Sejarah; Pendapat-Pendapat Moderen tentang Filsafat Sejarah, Jakarta:
Gramedia.
Gottschalk, Louis. 1975 under-standing
Histoy A Primer Of Historical Method, terjemah Nugraha Notosusanto,
Jakarta: UI Pers.
Hugiono. 1992Pengantar Ilmu Sejarah,
Jakarta: PT. Rineka Cipta
Sardiman. 2004.
Memahami Sejarah, Yogyakarta: BIGRAF Publishing.
Sudarminta. 2002. Epistemologi
Dasar, Pengantar Filsafat Pengetahuan, Yogjakarta: Pustaka Setia
[2] Ankersmit, F.R., Refleksi Tentang
Sejarah; Pendapat-Pendapat Moderen tentang Filsafat Sejarah, (Jakarta:
Gramedia, 1987), 316-328.
[4] Louis Gottschalk, under-standing
Histoy A Primer Of Historical Method, terjemah Nugraha Notosusanto
(Jakarta: UI Pers, 1975), 45.
[6] Sudarminta, Epistemologi Dasar,
Pengantar Filsafat Pengetahuan, (Yogjakarta: Pustaka Setia,2002), hal 43.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar