STUDY KOMPERATIF TENTANG PERBUATAN MANUSIA DALAM PERSPEKTIF
MUTAKALIMIN (MU’TAZILAH, ASY’ARIYAH, DAN MATURIDIYAH)
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata kuliah:
ILMU KALAM
Dosen Pembimbing:
Rokhimah, M.
Fil. I.
Disusun Oleh:
1.
Qolbi
Lil Afafah (A02212092)
2.
Wahyu
Rizky Abdillah (A02212102)
3.
Hanan
Tantowi (A72212126)
FAKULTAS ADAB
JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2012
PENDAHULUAN
Masalah perbuatan
manusia bermula dari pembahasan sederhana yang dilakukan oleh kelumpok
Jabariyah (pengikut Ja’ad bin Dirhan dan Jahm bin Shafwan) dan kelompok
Qadariyah (pengikut Ma’bad Al-Juhani dan Ghailan Ad-Dimsyaqi), yang kemudian
dilanjutkan dengan pembahasan yang lebih mendalam oleh aliran Mu’tazilah,
Asy-Ariyah, dan Maturidiyah. Jadi, kami sebagai pemakalah akan mengkaji
perbuatan manusia dalam perspektif Mutakalimin (Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan
Maturidiyah)
PEMBAHASAN
A. Aliran
Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah
emandang manusia mempunyai daya yang besar dan bebas. Oleh karena itu,
Mu’tazilah menganut faham Qadariyah atau free
will. Menurut Al-juba’I dan Abd Al-Jabbra, manusialah yang menciptakan
perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang berbuat baik dan buruk.
Kepatuhan dan ketaatan seseorang kepada Tuhan adalah atas kehendak dan
kemauannya sendiri. Daya untuk mewujudkan kehendak terdapat dalam diri manusia
sebelum adanya perbuatan.[1]
Perbuatan manusia
bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang
mewujudkan perbuatannya. Lantas bagaimana dengan daya? Apakah diciptakan Tuhan
untuk manusia, atau berasal dari manusia sendiri? Mu’tazilah dengan tegas
menyatakan bahwa daya juga berasal dari manusia.[2]
Daya yang terdapat pada diri manusia adalah tempat terciptannya perbuatan.
Jadi, Tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan manusia. Aliran Mu’tazilah
mengecam keras faham yang mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan.
Bagaimana mungkin, dalam satu perbuatan aka nada dua daya yang menentukan?
Dengan faham ini,
aliran Mu’tazilah mengaku Tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan manusia
berperan sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah bentuknya.[3]
Meskipun berpendapat
bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan manusia dan tidak pula menentukannya,
kalangan Mu’tazilah tidak mengikari ilmu azali Allah yang mengetahui segala apa
yang akan terjadi dan diperbuat manusia. Pendapat inilah yang membedakannya
penganut Qadariyah murni.[4]
Untuk membela fahamnya,
aliran Mu’tazilah megungkapkan ayat berikut:
Artinya:
“yang membuat segala
sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya”. (QS.As-Sajdah:7)
Yang dimaksud dengan
ahsana pada ayat di atas, adalah semua perbuatan Tuhan adalah baik. Dengan
demikian, perbuatan manusia bukanlah perbutan Tuhan, karena diantara perbuatan
manusia terdapat perbuatan jahat.[5]
Dalil ini dikemukakan untuk mempertegas bahwa manusia akan dapat balasan atas
perbuatannya. Sekirannya perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan, balasan dari
Tuhan tidak akan ada artinya.[6]
Di samping argumentasi
naliyah di atas, aliran Mu’tazilah mengemukakan argumantasi rasional berikut
ini:[7]
a. Kalau
Allah menciptakan perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri tidak mempunyai
perbuatan, batallah taklif syar’i. hal ini karena syari’at adalah ungkaan
perintah dan larangan yang merupakan thalab. Penemuhan thalab tidak terlepasnya
dari kemampuan, kebasan, dan pilihan.
b. Kalau
manusia tidak bebas untuk melakukan perbuatannya, runtuhlah teori pahala dan
hukuman yang muncul dari konsep faham al-wa’d wa al-wa’id (janji dan ancaman).
Hal ini karena perbuatan itu menjadi tidak dapat disandarkan kepadanya secara
mutlak sehinngga berkonsekuensi pujian atau celaan.
c. Kalau
manusia tidak mempunyai kebebasan dan pilihan, pengutusan para nabi tidak ada
gunanya sama sekali. Bukankah tujuan pengutusan itu adalah dakwah dan dakwah
harus dibarengi kebebasan pilihan.
Konsekuensi lain dari
faham di atas, mu’tazilah berpendapat bahwa manusia terlibat dalam penentuan
ajal karena ajal itu ada dua macam, pertama, adalah al-ajal ath-thabi’i. ajal
inilah yag dipandang Mu’tazilah sebagai kekuasaan mutlak Tuhan menentukannya.
Adapun jenis yang kedua ajal yang dibikin manusia itu sendiri, misalnya
membunuh seseorang, atau bunuh diri di tiang gantungan, atau minum racun.[8]
B. Aliran
Asy’ariyah
Dalam faham Asy’ariyah
manusia ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia diibaratkan anak kecil yang
tidak memiliki pilihan dalam hidupnya. Oleh karena itu, aliran ini lebih dekat
dengan faham Jabariyah daripada dengan faham Mu’tazilah.[9]
Untuk menjelaskan dasar pijakannya, Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariyah, memakai
teori al-kasb (acquisition, perolehan). Teori al-kasb Asy’ari dapat dijelaskan
sebagai berikut. Segala sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang
diciptakan, sehingga menjadi perolehan bagi muktasib yang memperoleh kasab
untuk melakukan perbuatan. Sebagai konsekuensi dari teori kasb ini, manusia
kehilangan keaktifan, sehingga manusia bersikap pasif dalam
perbuatan-perbuatannya.[10]
Argument yang diajukan
oleh Al-Asy’ari untuk membela keyakinannya adalah firman Allah:
Artinya:
“Tuhan menciptakan kamu
dan apa yang kamu perbuat”. (QS. Ash-Shaffat:96)
Wa ma ta’malun pada
ayat di atas diartikan Al-asy’ari dengan apa yang kamu perbuat dan bukan apa
yang kamu perbuat. Dengan demikian, ayat ini mengandung arti Allah menciptakan
kamu dan perbuatan-perbuatanmu. Dengan kata lain, dalam faham Asy’ari yang
mewujudkan kasb atau perbuatan manusia sebenarnya adalah Tuhan sendiri.[11]
Pada prinsipnya, aliran
Asy’ari berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan Allah, sedangkan daya
manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya. Allah mencipatakan perbuatan
untuk manusia dan menciptakan pula pada diri manusia daya untuk melahirkan
perbuatan tersebut. jadi, perbuatan di sini adalah ciptaan Allah dan merupakan
kasb (perolehan) bagi manusia. Dengan demikian kasb mempunyai pengertian
penyertaan perbuatan dengan daya manusia yang baru. Ini berimplikasi bahwa
perbuatan manusia dibarengi oleh daya kehendaknya, dan bukan atas daya
kehendaknya.[12]
C. Aliran
Maturidiyah
Ada dua aliran
Maturidiyah, yaitu Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Ada perbedaan
antara maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara mengenai perbuatan
manusia. Kelompok pertama lebih dekat dengan faham Mu’tazilah, sedangkan kelompok
kedua lebih dekat dengan Asy’ariyah. Kehendak dan daya berbuat pada diri
manusia, menurut Maturidiyah Samarkand adalah kehendak dan daya manusia dalam
arti kata sebenarnya, dan bukan dalam arti kiasan.[13]
Perbedaan dengan Mu’tazilah adalah bahwa daya untuk berbuat tidak diciptakan
sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Daya yang demikian,
porsinya lebih kecil daripada daya yang terdapat faham Mu’tazilah. Oleh karena
itu, manusia dalam faham Al-Maturidi, tidakalah sebebas manusia dalam Mu’tazilah.
Maturidiyah Bukhara
dalam banyak hal sependapat dngan Maturidiyah Samarkand. Hanya saja golongan
ini memberikan tambahan dalam masalah daya. Menurutnya untuk perwujudan
perbuatan, perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan
perbuatan, hanya tuhanlah yang dapat mencipta, dan manusia hanya dapat
melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan baginya.[14]
PENUTUP
Akar dari masalah
perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta,
termasuk di dalamnya manusia sendiri. Tuhan bersifat Maha kuasa dan mempunyai
kehendak yang bersifat mutlak. Jadi, perbuatan manusia sebenarnya karena
kemauannya sendiri dan tidak ada campur tangan tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Rozak, Anwar, Ilmu-Kalam Untuk UIN, STAIN, PTAIS,
Pustaka Setia, Bandung, 2001.
Nasution. Harun,
Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah,
Analisa Perbandingan, UI Press, 1987.
[1] Nasution, teologi……, hlm. 102.
[2] Ibid…. hlm. I03.
[3] Muhammad Imarah, Almu’tazilah wa Musyikilah Al-Hurriyah
al-insaniyah. 1998, Dar Asy-Syura, kairo, hlm. 80-81.
[4] Irfan Abd Al-Hamid, dirasat fi Al-firaq wa Al-islamiyah. Matha’ah
As’ad, Baghdad. Hlm.278
[5] Nasution, teologi….. hlm. 105.
[6] Ibid, hlm. 125.
[7] Al-hamid, loc. Cit.
[8] Imarah, op. cit.. hlm. 81.
[9] Nasution, teologi…… hlm. 106.
[10] Ibid, hlm. 107.
[11] Ibid.
[12] Al-hamid, op. cit., hlm. 279.
[13] Nasution, teologi,…… hlm. 112.
[14] Ibid., hlm. 114.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar