Minggu, 23 Juni 2013

STUDY KOMPERATIF TENTANG PERBUATAN MANUSIA DALAM PERSPEKTIF MUTAKALIMIN (MU’TAZILAH, ASY’ARIYAH, DAN MATURIDIYAH)



STUDY KOMPERATIF TENTANG PERBUATAN MANUSIA DALAM PERSPEKTIF MUTAKALIMIN (MU’TAZILAH, ASY’ARIYAH, DAN MATURIDIYAH)
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata kuliah:
ILMU KALAM


 



Dosen Pembimbing:
Rokhimah, M. Fil. I.



Disusun Oleh:
1.      Qolbi Lil Afafah               (A02212092)
2.      Wahyu Rizky Abdillah    (A02212102)
3.      Hanan Tantowi                 (A72212126)



FAKULTAS ADAB
JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2012





PENDAHULUAN
Masalah perbuatan manusia bermula dari pembahasan sederhana yang dilakukan oleh kelumpok Jabariyah (pengikut Ja’ad bin Dirhan dan Jahm bin Shafwan) dan kelompok Qadariyah (pengikut Ma’bad Al-Juhani dan Ghailan Ad-Dimsyaqi), yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan yang lebih mendalam oleh aliran Mu’tazilah, Asy-Ariyah, dan Maturidiyah. Jadi, kami sebagai pemakalah akan mengkaji perbuatan manusia dalam perspektif Mutakalimin (Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah)


PEMBAHASAN
A.   Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah emandang manusia mempunyai daya yang besar dan bebas. Oleh karena itu, Mu’tazilah menganut faham Qadariyah atau free will. Menurut Al-juba’I dan Abd Al-Jabbra, manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang berbuat baik dan buruk. Kepatuhan dan ketaatan seseorang kepada Tuhan adalah atas kehendak dan kemauannya sendiri. Daya untuk mewujudkan kehendak terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan.[1]
Perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatannya. Lantas bagaimana dengan daya? Apakah diciptakan Tuhan untuk manusia, atau berasal dari manusia sendiri? Mu’tazilah dengan tegas menyatakan bahwa daya juga berasal dari manusia.[2] Daya yang terdapat pada diri manusia adalah tempat terciptannya perbuatan. Jadi, Tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan manusia. Aliran Mu’tazilah mengecam keras faham yang mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan. Bagaimana mungkin, dalam satu perbuatan aka nada dua daya yang menentukan?
Dengan faham ini, aliran Mu’tazilah mengaku Tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan manusia berperan sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah bentuknya.[3]
Meskipun berpendapat bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan manusia dan tidak pula menentukannya, kalangan Mu’tazilah tidak mengikari ilmu azali Allah yang mengetahui segala apa yang akan terjadi dan diperbuat manusia. Pendapat inilah yang membedakannya penganut Qadariyah murni.[4]
Untuk membela fahamnya, aliran Mu’tazilah megungkapkan ayat berikut:

Artinya:
“yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya”. (QS.As-Sajdah:7)
Yang dimaksud dengan ahsana pada ayat di atas, adalah semua perbuatan Tuhan adalah baik. Dengan demikian, perbuatan manusia bukanlah perbutan Tuhan, karena diantara perbuatan manusia terdapat perbuatan jahat.[5] Dalil ini dikemukakan untuk mempertegas bahwa manusia akan dapat balasan atas perbuatannya. Sekirannya perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan, balasan dari Tuhan tidak akan ada artinya.[6]
Di samping argumentasi naliyah di atas, aliran Mu’tazilah mengemukakan argumantasi rasional berikut ini:[7]
a.       Kalau Allah menciptakan perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri tidak mempunyai perbuatan, batallah taklif syar’i. hal ini karena syari’at adalah ungkaan perintah dan larangan yang merupakan thalab. Penemuhan thalab tidak terlepasnya dari kemampuan, kebasan, dan pilihan.
b.      Kalau manusia tidak bebas untuk melakukan perbuatannya, runtuhlah teori pahala dan hukuman yang muncul dari konsep faham al-wa’d wa al-wa’id (janji dan ancaman). Hal ini karena perbuatan itu menjadi tidak dapat disandarkan kepadanya secara mutlak sehinngga berkonsekuensi pujian atau celaan.
c.       Kalau manusia tidak mempunyai kebebasan dan pilihan, pengutusan para nabi tidak ada gunanya sama sekali. Bukankah tujuan pengutusan itu adalah dakwah dan dakwah harus dibarengi kebebasan pilihan.
Konsekuensi lain dari faham di atas, mu’tazilah berpendapat bahwa manusia terlibat dalam penentuan ajal karena ajal itu ada dua macam, pertama, adalah al-ajal ath-thabi’i. ajal inilah yag dipandang Mu’tazilah sebagai kekuasaan mutlak Tuhan menentukannya. Adapun jenis yang kedua ajal yang dibikin manusia itu sendiri, misalnya membunuh seseorang, atau bunuh diri di tiang gantungan, atau minum racun.[8]
B.   Aliran Asy’ariyah
Dalam faham Asy’ariyah manusia ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia diibaratkan anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalam hidupnya. Oleh karena itu, aliran ini lebih dekat dengan faham Jabariyah daripada dengan faham Mu’tazilah.[9] Untuk menjelaskan dasar pijakannya, Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariyah, memakai teori al-kasb (acquisition, perolehan). Teori al-kasb Asy’ari dapat dijelaskan sebagai berikut. Segala sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan, sehingga menjadi perolehan bagi muktasib yang memperoleh kasab untuk melakukan perbuatan. Sebagai konsekuensi dari teori kasb ini, manusia kehilangan keaktifan, sehingga manusia bersikap pasif dalam perbuatan-perbuatannya.[10]
Argument yang diajukan oleh Al-Asy’ari untuk membela keyakinannya adalah firman Allah:
Artinya:
“Tuhan menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat”. (QS. Ash-Shaffat:96)
Wa ma ta’malun pada ayat di atas diartikan Al-asy’ari dengan apa yang kamu perbuat dan bukan apa yang kamu perbuat. Dengan demikian, ayat ini mengandung arti Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatanmu. Dengan kata lain, dalam faham Asy’ari yang mewujudkan kasb atau perbuatan manusia sebenarnya adalah Tuhan sendiri.[11]
Pada prinsipnya, aliran Asy’ari berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan Allah, sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya. Allah mencipatakan perbuatan untuk manusia dan menciptakan pula pada diri manusia daya untuk melahirkan perbuatan tersebut. jadi, perbuatan di sini adalah ciptaan Allah dan merupakan kasb (perolehan) bagi manusia. Dengan demikian kasb mempunyai pengertian penyertaan perbuatan dengan daya manusia yang baru. Ini berimplikasi bahwa perbuatan manusia dibarengi oleh daya kehendaknya, dan bukan atas daya kehendaknya.[12]
C.   Aliran Maturidiyah
Ada dua aliran Maturidiyah, yaitu Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Ada perbedaan antara maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara mengenai perbuatan manusia. Kelompok pertama lebih dekat dengan faham Mu’tazilah, sedangkan kelompok kedua lebih dekat dengan Asy’ariyah. Kehendak dan daya berbuat pada diri manusia, menurut Maturidiyah Samarkand adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya, dan bukan dalam arti kiasan.[13] Perbedaan dengan Mu’tazilah adalah bahwa daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Daya yang demikian, porsinya lebih kecil daripada daya yang terdapat faham Mu’tazilah. Oleh karena itu, manusia dalam faham Al-Maturidi, tidakalah sebebas manusia dalam Mu’tazilah.
Maturidiyah Bukhara dalam banyak hal sependapat dngan Maturidiyah Samarkand. Hanya saja golongan ini memberikan tambahan dalam masalah daya. Menurutnya untuk perwujudan perbuatan, perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan, hanya tuhanlah yang dapat mencipta, dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan baginya.[14]


PENUTUP
Akar dari masalah perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk di dalamnya manusia sendiri. Tuhan bersifat Maha kuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Jadi, perbuatan manusia sebenarnya karena kemauannya sendiri dan tidak ada campur tangan tuhan.


DAFTAR PUSTAKA
Rozak, Anwar, Ilmu-Kalam Untuk UIN, STAIN, PTAIS, Pustaka Setia, Bandung, 2001.
Nasution. Harun, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, UI Press, 1987.


[1] Nasution, teologi……, hlm. 102.
[2] Ibid…. hlm. I03.
[3] Muhammad Imarah, Almu’tazilah wa Musyikilah Al-Hurriyah al-insaniyah. 1998, Dar Asy-Syura, kairo, hlm. 80-81.
[4] Irfan Abd Al-Hamid, dirasat fi Al-firaq wa Al-islamiyah. Matha’ah As’ad, Baghdad. Hlm.278
[5] Nasution, teologi….. hlm. 105.
[6] Ibid, hlm. 125.
[7] Al-hamid, loc. Cit.
[8] Imarah, op. cit.. hlm. 81.
[9] Nasution, teologi…… hlm. 106.
[10] Ibid, hlm. 107.
[11] Ibid.
[12] Al-hamid, op. cit., hlm. 279.
[13] Nasution, teologi,…… hlm. 112.
[14] Ibid., hlm. 114.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar